31 Oktober 2009

Urgensi Mursyid Dalam Thoriqoh

Allah Swt. berfirman:“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalam hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka.

Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid. Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri. Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan: “Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.Biarpun tulisan ini cuma hasil copy paste dari www.sufinews.com, semoga bermanfaat untuk saya dan rekan-rekan "seperjalanan",

Wassalam..

sumber : cahaya sufi, oleh K.H Luqman Hakim

Mendahulukan Allah

Bismillah..

Rasulullah bersabda "Carilah dunia seakan akan engkau hidup selamanya, carilah akhirat seakan akan engkau mati besok ".

Dari hadis diatas banyak orang yang salah memahami bahkan dijadikan hujah atas ikhtiar keduniaan mereka.Mereka mencari rejeki dengan melalaikan Allah. (saya menekankan "melalaikan Allah" bukan "melalaikan ibadah" karena mencari rejeki adalah termasuk salah satu ibadah)Bahkan ada yg sampai "ngoyo" dengan meninggalkan sholat wajib.

Mereka beralasan : " tuh lihat hadist diatas !! "Ada juga yang beralasan " nanti saja nyari akhiratnya kalau dunia saya sudah beres dan terjamin "Sungguh !!! Mereka terkena ghurur (terperdaya) karena salah mengartikan hadis diatas.

Contoh hadis diatas saya coba umpamakan , seandainya kita mempunyai 2 pesanan pekerjaan. Pesanan pertama harus selesai 1 bulan, sedangkan pesan kedua harus selesai 1 hari. Pastilah kita akan mendahulukan pekerjaan yg mempunyai deadline waktu yg lebih singkat yaitu pekerjaan kedua yg harus selesai 1 hari, walaupun jenis pekerjaannya sama.Begitu pula memahami hadis diatas.

Dahulukan mencari akhirat karena besok kita akan mati, soal dunia bisa "ntar ntar-an".Pengertian akhirat adalah segala bentuk diam dan gerak kita yg dalam koridor tidak menyalahi hukum syar'i, kita niatkan untuk menuju & kembali dan berserahdiri kepada Allah tuk dapat Ridho dan ampunanNYA, agar dapat berjumpa dan memandangNYA didunia & akhirat.

Contoh diamnya kita adalah pada saat kita tidak ikut ber ghibah, tidak ikut menggunjing, dll, contoh geraknya kita adalah berikhtiar, sholat, bergaul, bermasyarakat, ngurus anak, belajar dll. Itu yg dimaksud dng diam dan geraknya kita yg tidak menyalahi hukum syariat.Dunia yg dimaksud hadis diatas adalah segala sesuatu selain Allah (berarti makhluk) yang dapat melalaikan dari mengingat Allah, lalai dari berserah diri kpd Allah, tidak mau kembali kepada Allah, tidak mau berjumpa dng Allah.Jadi kalau ada sesuatu pekerjaan yg KIRAAA KIRAAA... bisa melalaikan hati kita dari Allah, ngerjainnya nanti-nanti saja ya, atau segera pasang niat untuk mencari akhirat (lihat pengertian akhirat diatas ya).Asal pekerjaan yg dimaksud diatas bukan berupa kemaksiatan dan kejahatan.

Mudah2an Allah menanamkan himah dihati kita sehingga tujuan dan orientasi hidup kita hanyalah Allah semata, amin..Kebenaran hanya dari Allah, kesalahan adalah dari kebodohan saya.Mudahan bermanfaat...

wassalam

Menuju Kematian

Mati dan hidup adalah milik dan wewenang sang Maha Tunggal, yaitu al Mu'mit dan al Hayyu.

Didalam al Mu'mit ada al Hayyu, didalam "kematian" kita akan bertemu dengan Hidup sesungguhnya. Seperti sabda Rasulullah " mautu qobla anta mautu" / matikan dirimu sebelum mati jasadmu, niscaya kita dapat bertemu dengan sang Maha Hidup.

Manusia yang tidak mau mati (termasuk saya neeeh..) seperti ulat tidak mau jadi kepongpong lalu menjadi kupu2 yg indah, akhirnya mati sendiri atau dimakan "burung" keduniaan akhirnya hanya menjadi kotoran "burung" keduniaan tsb.Dengan kita menyintai dan ingin bertemu sang Maha Hidup didunia ini , kita harus mulai mujahadah jiwa atau bahasa kerennya Tazkiyatun Nasf sehingga Nafs / jiwa mengalami transformasi dari Nafs Amarah (jiwa yg memerintah kemungkaran) menjadi Nafs Mutmainah lalu menjadi nafs Rodhiyah.

Disitu makna kematian, yaitu sebuah transformasi jiwa, dengan cara melakukan ritual ibadah lahir/syariat dan ibadah batin/hakikat dengan diniatkan untuk meraih Ridho dan Maghfiroh NYA, sehingga jiwa menjadi tenang lalu menimbulkan rasa "dekat" dan selalu bersama dengan NYA, lalu meningkat terus ke maqom al Ihsan..(seolah2 melihat Allah), hati selalu menyaksikan Allah "sebelum, didalam, sesudah, dibalik " segala sesuatu.Dengan "kematian" tersebut pula jiwa menjadi "Hidup" karena bersama sang Maha Hidup.

Tanda tandanya adalah rasa RELA dihati atas segala sesuatu yg Allah datangkan. Qiblat hati tidak bergeming atas sesuatu tsb, Qiblat hati selalu menghadap Allah selalu sampai kematian jasad menjemputnya.Sesuai dengan sabda Rasulullah dalam hadis Qudsi, Allah berkata(lebih kurang) "Barang siapa yg yang masuk ke dalam bentengKU, akan amanlah dia, bentengKU adalah Laaaa ila ha Illalah".

InsyaAllah selamat di dunia dan akhirat, Kematian yang Khusnul Khotimah lahir maupun batin..Semua itu juga adalah anugerah Allah semata kepada hambanya yg dikehendaki.Sudahkah ada niat dihati kita untuk meraih "kematian" tersebut ?? (niat sih udah ada tapi....segudang alasan menjadikan alibi untuk memulainya, dasar manusia !! Eh.. Saya sendiri deh..he.he.). padahal orang sudah niat dihati dng kuat, lalu telah mulai mencoba menapaki perjuangan untuk penyucian jiwanya, lalu dia keburu sudah selesai "kontrak" hidupnya, insyaAllah mendapat maqom sebagai Suhada atau termasuk syahid karena dalam perjuangan menuju pada TuhanNya, amin..

Gimana Allah akan "menemui" hambanya, jika hambanya sendiri "emoh" menemui Tuhannya !! Gimana manusia ingin masuk surga sedangkan sama Pemilik surga dia tidak mau bertemu !!..

Wassalam

Lihat Akhlak kita jangan lihat Ibadah kita

Terkadang kita bangga dan lega dengan telah banyak menuntut ilmu dan telah banyak melaksanakan ibadah wajib maupun sunah.

Coba kita sejenak palingkan ingatan kita dari mengingat ingat ilmu apa yg kita telah kuasai baik ilmu agama maupun ilmu dunian, sebentar kita palingkan ingatan kita dari mengingat ingat amaliyah ibadah kita.Coba kita ingat-ingat sudahkan akhlaq dan perilaku kita termasuk dalam firman Allah :" Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memafa'afkan (kesalahan) orang lain. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat kebajikan " (Q.S. Ali Imran, 134)

Sudahkah ilmu dan ibadah kita membuahkan akhlaq dan perilaku :
1. Sabar dan
2. Memaafkan kesalahan orang lain.

Kalau sudah, bersyukurlah atas anugerahNYA, kalau belum, janganlah lega dan bangga atas ilmu dan amal ibadahmu.Sesungguhnya hasil/buah dari ilmu dan ibadah sangatlah banyak sekali. Tetapi kedua point tersebut diatas cukuplah dijadikan barometer hasil dan buah akan ilmu dan ibadah kita.Penulis merasakan sangatlah berat meraih kedua ahklaq tersebut.

Memang segala sesuatu adalah semata anugerah Allah, hanya kita wajib berusaha meraih anugerahNYA. Karena ikhtiar kita mau meraih anugerahNYA merupakan tanda tanda anugerahNYA akan menghampiri kita yg mau ikhtiar.

Merasa malu kepada Allah, oh..ternyata aku ini masih "belegedes" ya..

Berusaha tinggalkan kebiasaan ngomongin orang apabila termasuk dalam katagori ghibah, kalau belum bisa memaafkan kesalahan orang tsb.Berusaha diam dan pergi dari hadapan sesuatu apabila sesuatu itu menyebabkan menimbulkan rasa mau marah (dalam katagori tidak bertentangan dng syariat).

Banyak banyaklah mengingat Allah supaya kita beruntung.

Semoga bermanfaat..

Mencari Allah

SUNGGUH !! Mencari Allah janganlah diluar diri kita. Karena diluar diri kita adalah sejenis diri kita pula, yang disebut dengan nama makhluk atau "ciptaan".
Karena diri kita dan alam semesta ini adalah dimensi terakhir dari "alam-NYA". Ibaratnya jika ada cahaya senter maka ujungnya cahaya yang menerangi suatu obyek sehingga obyek itu dapat kelihatan, maka ujungnya cahaya senter itu adalah diri kita atau makhluk.
Jadi untuk "mencari atau menemukan" Allah adalah "kedalam" diri kita, bukan keluar karena kalau keluar sudah tidak ada "alam lain" lagi. Makanya Allah berfirman " Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas/ridho..." (Q.S Al Fajr).Kata-kata "kembali" dapat berarti kedalam atau ke asal.
Kalau ibarat cahaya senter kembali untuk menuju sumber cahaya itu yaitu senter. (Ini hanya pengibaratan /'itibar supaya akal memahami, Maha Suci Allah yang dapat dipersamakan dengan segala sesuatu).

Jadi "prakteknya" adalah sebut namaNYA didalam hati sambil konsentrasi kedalam dada ruhani (bukan pula Allah ada didalam dada phisik manusia tetapi ada "dalam" dada/hati ruhani manusia).Karena alam syahadah atau alam semesta berserta isinya ini termasuk isi langit dan bumi, adalah "akhir" dari "pancaran" kehendak sifat, asma dan af'al Allah.

Disebut disini "pancaran" bukan sifat dan asma Allah itu sendiri apalagi DzatNYA.Saya contohkan begini : cahaya matahari siang yang sampai ke kulit kita bukanlah sifat panasnya matahari itu sesungguhnya. Karena semakin kita mendekati ke matahari (itu juga kalau bisa), maka panasnya semakin bertambah dan semakin panas.

Jangankan mau mendekati, wong kalau nggak ada lapasin ozon dibumi maka seluruh makhluk bumi bahkan buminya itu sendiri sudah musnah terbakar.Itu baru sifat panasnya. Dan yang lebih lagi bahwa cahaya matahari yang sampai pada diri kita bukanlah Dzatnya Matahari itu sendiri. Karena dzat matahari ada di atas bumi diketinggian ..(Au ah gelap, sy juga nggak tahu).

Tapiiiiii... Cahaya matahari bukanlah selain wujud Matahari itu juga karena cahaya matahari tidak terpisahkan atau akibat dari dzat matahari yang berpijar itu. Begitu juga panasnya matahari adalah sifat dari dzatnya matahari itu bukan selain matahari.Sekali lagi keterangan diatas hanya pengibaratan supaya akal dapat mencerna dan menyimpulkan.Jadi banyak2lah memandang ke "dalam" dada kita, sebut asmaNYA terus menerus, sambil penuh harap penyerahan diri kita untuk kembali kepadaNYA dapat diterima Allah.Hanya itu batas dari "ikhtiar" kita sebagai hamba (yg notabene adalah akibat anugerah dan pertolonganNYA juga), selebihanya tinggal nunggu waktunya kapan Allah membukakan "pintuNYA" sehingga kita dapat "berjumpa dan selalu menyaksikanNYA" didunia ini dan diakhirat nanti.

Tanda tanda Allah "berkenan" atau menghendaki diri kita untuk berjumpa denganNYA adalah ada semacam himah atau kemauan untuk kembali kepadaNYA diiringi dengan mulai menapaki "jalan"NYA dengan bimbingan hambaNYA yang sudah sampai kepadaNYA. Bagaimana kita bisa sampai kepadaNYA kalau kita mengikuti orang yang dia sendiri belum sampai kepadaNYA. Di ibaratkan kita minta petunjuk jalan ke Jakarta sedang dia sendiri belum pernah ke Jakarta.

Semoga bermanfaat..

Efek Dzikir dan Membaca Al Quran

Seorang syaikh sufi ditanya oleh seorang Raja,

Raja : " masa iya, hanya dengan mengulang ulang menyebut nama Allah dihati dapat MEMPENGARUHI JIWA sehingga menjadi Ridho bahkan berjumpa dengan Allah ? Coba jelaskan wahai Syaikh "

Syaikh terdiam sejenak, lalu berkata,Syaikh : "Wahai engkau saja sangat bodoh, tidak pantas kiranya engkau menjadi raja, sungguh merugi rakyat yang engkau pimpin, alangkah tidak pantas engkau duduk disinggasana itu "

Wajah sang Raja langsung merah padam, saking menahan marahnya sehingga dia tidak dapat berkata apa-apa, sang raja hanya dapat berdiri sambil matanya melotot, urat2 lehernya keluar semua, tangannya menuding2, tapi mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata saking murkanya.

Syaikh sufi itu berkata dengan arif dan tenang : " maafkan saya Tuan Raja, tadi saya hanya memberi contoh dan membuktikan kepada tuan Raja. Baru kata kata dari dunia manusia biasa saja bisa sangat MEMPENGARUHI JIWA tuan Raja, APALAGI sebuah kata yang mewakili NAMA dari RABB penguasa semesta alam, yang DIA sendiri menyebut DIRINYA dengan nama itu yaitu A L L A H. !!!! Bisa tuan Raja bayangkan efeknya kepada jiwa manusia yang sangat bergantung kepada RABB nya. "

Dari cerita diatas dapat kita petik hikmah dan kebenarannya ( kalau tidak percaya, kita ingat2 saja kalau kita sedang dikata-katain dengan kata2 yang sangat merendahkan bagaimana jiwa kita menerimanya), yakinlah bahwa bentuk bacaan wirid dan bacaan sholat, terlebih bacaan AlQuran dan Zikir Allah..Allah.. Dihati sangatlah memberikan atsar bagi jiwa kita, sehingga dapat BERSERAH DIRI (muslimun) dan SELAMAT (islam) "sampai" kepada ALLAH. Mendapatkan Ridho dan ampunannya.. Amin

Penyihir Yang Nyata

Memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan Makhluk.(al-falaq.2)
Kenapa ya, Allah memerintahkan waspada dari kejahatan makhlukNYA, lalu siapa makhluk yg dimaksud itu ?Yang disebut makhluk adalah segala sesuatu selain Allah, termasuk diri kita dan alam semesta yg zahir maupun yg gaib, yg bernyawa maupun yg tidak bernyawa.Kita ambil contoh yang nyata dan sehari2. Terkadang kita mengalami sesuatu sehingga hati kita cemas, takut akan rizki kita (misalnya sdg kena PHK).
Saat itu hati kita terisi oleh masalah rizki, ragu akan pemeliharaan Allah sehingga hati kita lalai mengingat Allah. Karena selain Allah dihati adalah kegelapan dan kegelapan itu kita nikmati sehingga hati kita bertambah pekat kegelapannya. Yang dimaksud dng kegelapan yg dinikmati adalah kita semakin khawatir dan cemas serta semakin lalai bahkan sdh tidak pernah dihati mengingat Allah.Kegelapan itu seperti menyihir diri kita sehingga orientasi/tujuan kita berubah yaitu untuk pemenuhan-pemenuhan kebutuhan dunia kita.
Ikhtiar kita telah melibatkan kegelapan dihati kita sehingga diri kita lahir dan batin sedikit demi sedikit meninggalkan Allah, meninggalkan syariat2NYA. Begitu pula masalah2 yg lainnya, yg datang selalu silih berganti dalam kehidupan kita. Tanda tandanya bahwa masalah yg terjadi telah menjadi kegelapan yg siap menyihir diri kita adalah hati kita mulai lalai dari mengingat Allah, satu menit lalai, kemudian 1 jam lalai, dan seterusnya. Mengingat Allah dihati dibarengi menjalankan syariatNYA adalah barometer kehambaan seseorang terhadap Rabb nya. Memohonlah kita kepada Allah supaya kita selalu dilindungi dari kegelapan makhluk yang dapat berubah menjadi penyihir yg siap meniup buhul keimanan di hati kita sehingga kita menjadi jauh dari Allah.
Banyak banyak mengingat Allah dihati salah satu cara tercepat untuk mmengusir Kejahatan Kegelapan Makhluk. Karena nama Allah mengandung namaNYA yaitu An-NUR (cahaya), sedangkan apabila cahayaNYA telah terbit dihati kita niscaya kegelapan akan menyingkir, sehingga jiwa menjadi tenang melaksanakan kehidupan ini yg memang dunia ini sdh di cap "Full Problem" dari "sononya". Kelar satu masalah datang yg lain silih berganti.Segala sesuatu adalah dari NYA dan hanya kepada NYA lah semua akan kembali.Cepat kembali kepada Allah, untuk berserah diri kepada Allah, untuk mendapatkan ampunan dan Ridho NYA. amin..

Laa haula wala quwata ila Billah